Beranda | Artikel
Sebuah Pelajaran
Minggu, 13 November 2016

Bismillah.

Alhamdulillah, puji dan syukur terpanjat kepada Rabb alam semesta. Sebab tanpa hidayah dan pertolongan-Nya kita tidak akan menemukan kebenaran dan berjalan di atasnya. 

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, apabila kita hendak menyebutkan nikmat yang Allah berikan kepada kita tentu kita tidak akan sanggup menghingganya. Karena terlalu banyak nikmat itu. Namun, terkadang atau seringkali kita lalai dari mengingat dan mensyukurinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang kebanyakan orang terpedaya karenanya; yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari). Ya, kesehatan dan waktu luang sering ‘menipu’ kita; sehingga kita pun hanyut dalam kelalaian dan kesia-siaan. Padahal hidup kita ini semestinya ditegakkan di atas nilai-nilai ubudiyah kepada-Nya.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Ibadah kepada Allah penuh dengan warna-warni amal salih dan ketaatan. Ibadah kepada Allah sarat dengan dzikir dan syukur kepada-Nya. Ibadah kepada Allah adalah sebab kebahagiaan dan keselamatan insan.

Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3) 

Manusia banyak yang tenggelam dan terbenam dalam kerugian -kerugian dunia dan akhirat- karena dia menyalahgunakan nikmat yang Allah berikan kepadanya bukan untuk ketaatan. Seperti yang disindir oleh Abu Hazim rahimahullah, beliau berkata, “Setiap nikmat yang tidak semakin mendekatkan diri kepada Allah maka itu adalah malapetaka.”

Betapa banyak malapetaka yang menimpa kita ketika kita gunakan nikmat Allah untuk perbuatan dosa dan kedurhakaan. Malapetaka hati; karena hati itu akan penuh dengan bercak hitam dosa. Malapetaka nurani; karena ia akan tercabut dari akar kedamaian. Sebab kedamaian dan ketenangan sejati hanya diraih dengan dzikir dan taat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang senantiasa mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perbandingan antara orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari)

Abul ‘Abbas al-Harrani rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Bagaimana kondisi seekor ikan apabila ia memisahkan dirnya dari air?”. Lalau bagaimanakah tersiksanya hati seorang mukmin ketika dosa demi dosa dia torehkan ke dalam hatinya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Orang yang beriman akan melihat dosa-dosanya seperti orang yang sedang berada di bawah sebuah gunung, dia takut kalau-kalau gunung itu hancur menimpa dirinya.”

Inilah saatnya, kita kembali memeriksa relung-relung hati kita. Jangan-jangan dosa telah membutakan mata hati kita dan mengisi nurani dengan sampah dan kotoran yang mengundang murka Allah. Apa yang akan kita tunggu? Apakah kita hendak menunggu datangnya malaikat maut menjemput dan terlambat sudah waktu untuk bertaubat dan kembali ke jalan-Nya?! 

Nas’alullahat taufiiq was salaamah.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/sebuah-pelajaran/